Aspek Filosofi Sektor Publik
Dari berbagai buku Anglo Amerika, akuntansi sektor publik diartikan sebagai
mekanisme akuntansi swasta yang diberlakukan dalam praktik-praktik organisasi
publik. Dari berbagai buku lama terbitan Eropa Barat, akuntansi sektor publik
disebut akuntansi pemerintahan. Dan diberbagai kesempatan disebut juga sebagai
akuntansi keuangan publik. Berbagai perkembangan terakhir, sebagai dampak
penerapan daripada accrual base di Selandia Baru, pemahaman ini telah berubah.
Akuntansi sektor publik didefinisikan sebagai akuntansi dana masyarakat.
Akuntansi dana masyarakat dapat diartikan sebagai: “… mekanisme teknik dan
analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat”. Dari
definisi diatas perlu diartikan dana masyarakat sebagai dana yang dimiliki oleh
masyarakat - bukan individual, yang biasanya dikelola oleh organisasi
-organisasi sektor publik, dan juga pada proyek-proyek kerjasama sektor publik
dan swasta. Di Indonesia, akuntansi sektor publik dapat didefinisikan: “…
mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana
masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen dibawahnya,
pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM dan yayasan sosial, maupun pada proyek-
proyek kerjasama sektor publik dan swasta”.
JENIS-JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK
Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan
mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah:
1. Anggaran tradisional atau anggaran konvensional
2. Pendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.
1.ANGGARAN TRADISIONAL
Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara
berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a)
cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b)
struktur dan susunan anggaran yang besifat line-item.
Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah:
(c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f)
menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan
ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan
untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam
memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak
tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang
dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan
anggaran.
CIRI-CIRI ANGGARAN TRADISIONAL :
Incrementalism
Penekanan dan tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan
pertanggungjawaban yang terpusat. Anggaran tradisional bersifat incrementalism,
yaitu hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang
sudah ada sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar
untuk menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian
yang mendalam.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian
terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas
seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional.
Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali
pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya
kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting
untuk dilaksanakan.
Akibat digunakannya harga pokok pelayanan historis tersebut adalah suatu item,
program, atau kegiatan akan muncul lagi dalam anggaran tahun berikutnya
meskipun sebenarnya item tersebut sudah tidak relevan dibutuhkan. Perubahan
anggaran hanya menyentuh jumlah nominal rupiah yang disesuaikan dengan tingkat
inflasi, jumlah penduduk, dan penyesuaian lainnya.
Line-item
Ciri lain anggaran tradisional adalah struktur anggaran bersifat line-item yang
didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Metode
line-item budget tidak memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan
atau pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya
secara riil item tertentu sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode
sekarang. Karena sifatnya yang demikian, penggunaan anggaran tradisional tidak
memungkinkan untuk dilakukan penilaian kinerja secara akurat, karena
satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan adalah semata-mata pada ketaatan
dalam menggunakan dana yang diusulkan.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur line-item dilandasi alasan
adanya orientasi sistem anggaran yang dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran.
Berdasarkan hal tersebut, anggaran tradisional disusun atas dasar sifat
penerimaan dan pengeluaran, seperti misalnya pendapatan dari pemerintah atasan,
pendapatan dari pajak, atau pengeluaran untuk gaji, pengeluaran untuk belanja
barang, dan sebagainya, bukan berdasar pada tujuan yang ingin dicapai dengan
pengeluaran yang dilakukan.
2.ANGGARAN PUBLIK DENGAN PENDEKATAN NPM
Era New Public Management
Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik
yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku,
birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel
dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil
dan sederhana. Perubahan tersebut telah mengubah peran pemerintah terutama
dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru yang
muncul dalam manajemen sektor publik tersebut adalah pendekatan New Public
Management.
New Public Management berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi
pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma New Public
Management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah di
antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost
cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model
pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam
pandangannya yang dikenal dengan konsep “reinventing government”. Perspektif
baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:
Pemerintahan katalis : fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan
publik. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak
harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Produksi
pelayanan publik oleh pemerintah harus dijadikan sebagai pengecualian, dan
bukan keharusan, pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat
dilakukan oleh pihak non-pemerintah.
Pemerintah milik masyarakat : memberdayakan masyarakat daripada melayani.
Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka
mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help
community).
Pemerintah yang kompetitif : menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian
pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya
sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan
publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
Pemerintah yang digerakkan oleh misi : mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
Pemerintah yang berorientasi hasil : membiayai hasil bukan masukan. Pada
pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja
ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah
yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan.
Pemerintah berorientasi pada pelanggan : memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan
birokrasi.
Pemerintahan wirausaha : mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar
membelanjakan.
Pemerintah antisipatif : berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah
tradisonal yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk
memecahkan masalah publik.
Pemerintah desentralisasi : dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja.
Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar : mengadakan perubahan dengan
mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif
(sistem prosedur dan pemaksaan). Ada
dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif.
Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam mengalokasi
sumberdaya. Pemerintah tradisional menggunakan mekanisme administratif yaitu
menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian
memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut).
Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar yaitu tidak memerintahkan dan
mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.
Definisi Akuntansi Sektor Publik
Dari berbagai buku Anglo Amerika, akuntansi sektor publik diartikan sebagai
mekanisme akuntansi swasta yang diberlakukan dalam praktik-praktik organisasi
publik. Dari berbagai buku lama terbitan Eropa Barat, akuntansi sektor publik disebut
akuntansi pemerintahan. Dan diberbagai kesempatan disebut juga sebagai
akuntansi keuangan publik. Berbagai perkembangan terakhir, sebagai dampak
penerapan daripada accrual base di Selandia Baru, pemahaman ini telah berubah.
Akuntansi sektor publik didefinisikan sebagai akuntansi dana masyarakat.
Akuntansi dana masyarakat dapat diartikan sebagai: “… mekanisme teknik dan
analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat”. Dari
definisi diatas perlu diartikan dana masyarakat sebagai dana yang dimiliki oleh
masyarakat – bukan individual, yang biasanya dikelola oleh organisasi
-organisasi sektor publik, dan juga pada proyek-proyek kerjasama sektor publik
dan swasta. Di Indonesia, akuntansi sektor publik dapat didefinisikan: “…
mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana
masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen
dibawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM dan yayasan sosial, maupun pada
proyek-proyek kerjasama sektor publik dan swasta”.
Penerapan Akuntansi Sektor Publik di Indonesia
Salah satu bentuk penerapan teknik akuntansi sektor publik adalah di
organisasi BUMN. Di tahun 1959 pemerintahan orde lama mulai melakukan
kebijakan-kebijakan berupa nasionalisasi perusahaan asing yang ditransformasi
menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi karena tidak dikelola oleh
manajer profesional dan terlalu banyaknya ‘politisasi’ atau campur tangan
pemerintah, mengakibatkan perusahaan tersebut hanya dijadikan ‘sapi perah’ oleh
para birokrat. Sehingga sejarah kehadirannya tidak memperlihatkan hasil yang
baik dan tidak menggembirakan. Kondisi ini terus berlangsung pada masa orde
baru. Lebih bertolak belakang lagi pada saat dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang fungsi dari BUMN. Dengan memperhatikan
beberapa fungsi tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung oleh BUMN sebagai
perusahaan publik adalah menonjolkan keberadaannya sebagai agent of development
daripada sebagai business entity. Terlepas dari itu semua, bahwa keberadaan
praktik akuntansi sektor publik di Indonesia dengan status hukum yang
jelas telah ada sejak beberapa tahun bergulir dari pemerintahan yang sah. Salah
satunya adalah Perusahaan Umum Telekomunikasi (1989).
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan
akuntansi pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan kompleks
dibandingkan sektor swasta atau bisnis. Keluasan wilayah publik tidak hanya
disebabkan keluasan jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya, tetapi
juga kompleksitas lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut.
Secara kelembagaan, domain publik antara lain meliputi badan-badan
pemerintahan (Pemerintah Pusat dan Daerah serta unit kerja pemerintah),
perusahaan milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD), yayasan, universitas,
organisasi politik dan organisasi massa,
serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
politik, sosial, budaya, dan historis, yang menimbulkan perbedaan dalam
pengertian, cara pandang, dan definisi. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor
publik dapat dipahami sebagai entitas yang aktivitasnya menghasilkan barang dan
layanan publik dalam memenuhi kebutuhan dan hak publik.
American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1993) menyatakan bahwa
tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah memberikan informasi yang
diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang
dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta
memberikan informasi untuk melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan
pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik.
Dengan demikian, akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan informasi
untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.
Kerangka transparansi dan akuntabilitas publik dibangun paling tidak atas
lima komponen, yaitu sistem perencanaan strategik, sistem pengukuran kinerja,
sistem pelaporan keuangan, saluran akuntabilitas publik (channel of public
accountability), dan auditing sektor publik yang dapat diintegrasikan ke dalam
tiga bagian akuntansi sektor publik, yaitu: Akuntansi Manajemen Sektor Publik,
Akuntansi Keuangan Sektor Publik, dan Auditing Sektor Publik.
AKUNTANSI MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK
Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik adalah
memberikan informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer untuk
melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian manajemen. Fungsi perencanaan
meliputi perencanaan strategik, pemberian informasi biaya, penilaian investasi,
dan penganggaran, sedangkan fungsi pengendalian meliputi pengukuran kinerja.
Informasi yang diberikan meliputi biaya investasi yang dibutuhkan serta
identifikasinya, penilaian investasi dengan memperhitungkan biaya dengan
manfaat yang diperoleh (cost-benefit analysis), dan penilaian efektivitas biaya
(cost-effectiveness analysis), serta jumlah anggaran yang dibutuhkan.
Dalam perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor publik dari
sektor swasta memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik dengan
meninggalkan administrasi tradisional dan beralih ke New Public Management (NPM),
yang memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan
akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam
sektor publik.
Dalam perkembangannya, konsep value for money diperluas dengan penerapan
best value performance framework yang menunjang reformasi layanan publik.
Reformasi layanan publik meliputi empat hal mendasar yaitu adanya standar
nasional, keleluasaan dalam menyediakan layanan, fleksibilitas organisasi, dan
eksplorasi jenis layanan yang dapat disediakan (ODPM, 2003). Layanan masyarakat
seharusnya mempunyai kriteria seperti adanya standar yang tinggi dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakatnya serta dapat diakses oleh masyarakat yang
membutuhkan. Standar yang tinggi dan responsif merupakan sesuatu yang relatif
yang dapat diantisipasi dengan penetapan standar pelayanan minimal (SPM) atau
minimum standard level of public services. Indonesia saat ini sudah mempunyai
PP No. 65 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal.
Tujuan pokok best value adalah memodernisasi penilaian pengelolaan
pemerintahan sehingga unit kerja yang berwenang menyediakan layanan yang baik
dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga layanan yang disediakan
bukan berdasarkan dana yang tersedia (pelayanan merupakan fungsi pendapatan),
tetapi lebih pada apa yang dibutuhkan masyarakat (pelayanan merupakan fungsi
kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan target dan tujuan serta
merefleksikannya ke dalam suatu performance plan yang memberikan informasi
mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan layanan, obyek pemakai
layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan yang diperlukan dalam
menyediakan layanan (Jones and Pendlebury, 2000). Best value juga menyelaraskan
prioritas dan fokus nasional dengan prioritas dan fokus daerah sehingga
pengembangan layanan publik tidak tumpang tindih.
Best value menitikberatkan pada pembangunan yang berkelanjutan, keseimbangan
kualitas layanan yang disediakan dengan biaya yang dikeluarkan, dan
meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan layanan publik.Best
value meningkatkan akuntabilitas dengan cara konsultasi dan musyawarah untuk
memastikan adanya komunikasi yang efektif dalam komunitas daerah. Selain itu,
best value juga mensyaratkan adanya evaluasi pada setiap aspek pekerjaan dari
berbagai perspektif untuk menilai kinerja unit kerja tersebut. Best value dapat
mengadopsi teknik-teknik manajemen sektor privat seperti value planning, value
engineering, dan value analysis, serta konsep customer value. Dengan demikian,
best value dapat dikatakan sebagai konsep pengelolaan yang berfokus pada
pelanggan dan kinerja.
SISTEM PENGUKURAN KINERJA
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu
alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan
stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan
(Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas, seperti halnya
akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan mekanisme
akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat indikator
kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward and
punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja yang baik
mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective, dan simple
(Accounts Commission for Scotland,
1998) serta berfungsi sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat
masalah yang memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses, dan
orang (pegawai dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar yang ditetapkan
dengan wajar (benchmarking) yang dapat berupa anggaran atau target, atau adanya
pembanding dari luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan digunakan untuk
mengambil keputusan mengenai kemajuan daerah, perlunya mengambil tindakan
alternatif, perlunya mengubah rencana dan target yang sudah ditetapkan apabila
terjadi perubahan lingkungan.
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi,
pemborosan, dan sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar organisasi
sektor publik memperhatikan value for money yang mempertimbangkan input,
output, dan outcome secara bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for
money, efisiensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi
1), dan efisiensi teknis atau manajerial (efisiensi 2). Efisiensi alokasi
terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat
kapasitas optimal. Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan mendayagunakan
sumber daya input pada tingkat output tertentu (dapat dilihat pada Gambar 1).
Kedua efisiensi tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
apabila dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap
rakyat (Mardiasmo, 2002a).